Rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang kembali mencuat belakangan ini menuai kritik keras dari berbagai pihak. Salah satu yang paling vokal menyuarakan penolakannya adalah Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia Majelis Penyelamat (PB SEMMI MP). Mereka menilai bahwa wacana revisi UU Pilkada merupakan langkah mundur yang dapat merusak fondasi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah sejak era reformasi.
Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat Terancam
Dalam pernyataan resminya, PB SEMMI MP menyatakan bahwa revisi UU Pilkada yang berpotensi menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengkhianatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Mereka mengingatkan bahwa Pilkada langsung adalah manifestasi dari demokrasi partisipatif, di mana rakyat diberi hak untuk menentukan pemimpinnya secara langsung.
“Kembalinya sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan membawa kita kembali ke era sebelum reformasi, di mana praktik oligarki dan politik transaksional marak terjadi,” ujar salah satu perwakilan PB SEMMI MP dalam konferensi persnya.
Potensi Kembalinya Politik Uang dan Elitisme
PB SEMMI MP juga menyoroti bahwa jika Pilkada kembali dipilih oleh anggota DPRD, maka potensi terjadinya politik uang semakin besar. Pemilihan yang dilakukan oleh segelintir elit politik membuka ruang yang lebih luas bagi transaksi kepentingan dan mempersempit ruang aspirasi masyarakat. Hal ini dikhawatirkan akan memperburuk kualitas kepemimpinan daerah dan melemahkan legitimasi kepala daerah terpilih.
Mereka juga menekankan bahwa selama ini, meskipun Pilkada langsung memiliki berbagai kekurangan, proses tersebut masih jauh lebih terbuka dan transparan dibandingkan sistem perwakilan tertutup yang direncanakan dalam revisi undang-undang ini.
Peran Mahasiswa dalam Menjaga Demokrasi
Sebagai organisasi mahasiswa, PB SEMMI MP merasa terpanggil untuk mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak gegabah dalam mengambil kebijakan yang berdampak besar terhadap sistem demokrasi di Indonesia. Mereka menyerukan agar seluruh elemen masyarakat, terutama generasi muda, turut aktif mengawal proses ini dan menolak segala bentuk upaya pelemahan demokrasi.
“Mahasiswa adalah penjaga moral bangsa dan benteng terakhir demokrasi. Kami akan berdiri di garda terdepan untuk menolak setiap bentuk pembajakan konstitusi,” tegas juru bicara organisasi tersebut.
Reaksi Publik dan Perluasan Gerakan Penolakan
Penolakan terhadap revisi UU Pilkada juga mulai meluas ke berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka menilai revisi ini tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sebagian kalangan bahkan menyebut bahwa upaya revisi ini merupakan langkah sistematis untuk memperkuat kontrol politik dari kelompok tertentu terhadap pemerintahan daerah.
Isu ini telah menjadi sorotan nasional dan mendapat perhatian media. Salah satu platform berita yang konsisten mengangkat suara mahasiswa dan dinamika kebijakan nasional adalah https://presisinews.id/. Media ini memberikan ruang bagi berbagai opini dan pernyataan sikap dari organisasi seperti PB SEMMI MP, sekaligus menjadi kanal penting dalam memperkuat literasi politik masyarakat.
Demokrasi Harus Dijaga, Bukan Dikurangi
Revisi UU Pilkada bukan sekadar isu prosedural, melainkan menyangkut substansi demokrasi itu sendiri. Jika rakyat kehilangan hak untuk memilih langsung pemimpinnya, maka demokrasi di Indonesia akan kehilangan maknanya. PB SEMMI MP dan berbagai elemen masyarakat lainnya telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam terhadap segala bentuk ancaman terhadap hak-hak sipil.
Sebagai warga negara, sudah sepatutnya kita semua ikut menjaga dan merawat demokrasi agar tetap hidup dan berkembang sesuai dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.